Seandainya Saya Menjadi Presiden

Idamen
3 min readJul 7, 2021

--

Ilustrasi Indonesia. ©2016 Merdeka.com

Suara ambulan terus saja bergaung kesana-kemari, memekakan telinga siapapun yang mendengar. Ada perasaan was-was tapi perasaan curiga pun tak terbendung. Kondisi saat ini, rasanya semrawut, terasa brekele. Jalanan sepi, tempat makan dikoyak-koyak satgas untuk tutup saja, becak mangkrak di pinggir jalan, makin mencekam ketika melihat berita yang isinya kenaikan kasus, hadeh.

Piye ya, kesel juga lama-lama, kebijakan demi kebijakan yang dikeluarkan kok rasanya, ngga adil gitu buat wong-wong cilik seperti saya. Di rumah saja, pakai masker double, vaksin, dan perbanyak minum vitamin. Lhawong sini, buat makan besok pagi aja masih bingung kok mau di rumah saja terus dari tahun kemarin, menangislah saya bun.

Kekesalan saya ini akhirnya berujung pada pertanyaan wagu namun berhasil mengganggu hati dan pikiran saya. Dimanakah rupiah-rupiah di negara ini berputar, kok rasanya sedikit sekali sampai-sampai untuk menjamin hidup para wong-wong cilik di negara ini sulit sekali?

Kok bisa di masa seperti ini ada yang mudah sekali membeli berpuluh-puluh susu Bear Brand sampai rebutan tapi disisi lain boro-boro mau beli susu bear brand, mau makan apa aja bingung karena nggak punya uang. Kok bisa ada orang sekaya Raffi Ahmad yang kalau keluar rumah pun bisa gonta-ganti mobil, tapi ada orang seperti saya yang mau beli cilok 5 ribu saja mikirnya sampai pusing.

Ada kesenjangan yang sepertinya terpaut njomplang, ibarat naik jungkat-jungkit yang satu setinggi monas yang satunya sedalam samudra.

Kenapa rasanya orang-orang yang berada di dasar samudra ini seperti tidak berdaya? Seperti tidak memiliki hak untuk bersuara? Atau jangan-jangan sebetulnya bisa bersuara tapi tidak didengarkan karena dianggap remah-remah negara? Eh, ini bisa jadi lho.

Kita cuma diperbolehkan menonton saja tanpa boleh bersuara, ada yang korupsi yo dimaklumi saja, ada yang mempermainkan hukum yo harus dimaklumi karena manusia biasa, ada atasan yang semena-mena mecat karyawan tanpa pesangon ya harap maklum lagi pandemi. Pokoknya kita hanya diminta untuk maklum dan maklum saja.

Kalau bersuara, nanti tangkap karena dianggap meresahkan warga, atau dikenai pasal-pasal wagu. Padahal katanya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, tapi rakyat yang mana aja saya ya bingung.

Andai saja saya menjadi presiden hari ini, daripada membuat peraturan-peraturan yang mbingungi. Saya lebih memilih untuk meminta maaf dengan sungguh-sungguh, mengakui kesalahan bahwa memang saya tidak mampu mengatasi permasalahan pandemi dan ketimpangan hari ini.

Jujur, minta maaf, dan meminta tolong meminta bantuan bahwa memang permasalahan ini tidak bisa diatasi sendirian.

Andai saya menjadi presiden, saya akan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk sama-sama berefleksi, mengingat kembali cita-cita bangsa Indonesia. Bagaimana seharusnya, kita membuat sistem yang sesuai dengan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila.

Mulai memperbaiki satu-persatu kebobrokan ini. Dengan harapan tidak ketimpangan lagi antara Pak Luhut Pandjaitan dengan Pak Slamet penjual cilok, eh bukan tidak ada ketimpangan sih, paling tidak bisa mengurangi.

Menerapkan kembali demokrasi, yang dimana setiap warga negaranya memiliki hak yang setara dalam mengambil keputusan, bukan pas pemilu saja. Tapi betul-betul diterapkan dalam segala lini, baik demokrasi ekonomi maupun politiknya.

--

--

Idamen
Idamen

Written by Idamen

Ruang rahasia yang nggak rahasia-rahasia amat 🌻

No responses yet