angin hari itu sejuk sekali, aku duduk tepat di bawah pohon jambu klampok yang tengah menyombongkan kerutannya.
“aku sudah lebih berpengalaman sejak lama di sini, kalian jangan belagu” kalimat yang kutangkap dari rindangnya dedaunan jambu klampok yang bergesek tertiup angin.
“nggih mbah, nderek ngiyup nggih mbah” kataku dalam hati
Hari itu tak banyak yang bisa kulakukan, aku hanya duduk diam memandangi sekumpulan orang-orang yang tengah sibuk bersiap menjalani ritual memule pohon. Hari itu pertamakalinya aku bertemu langsung denganmu. Matamu sendu, bicaramu irit, lebih irit daripada motor injeksi. Tapi hal yang membuatku cukup berbinar, tuturmu betul-betul tenang dan sopan.
Imajinasiku melayang-layang di udara. Ingin sekali aku mengenalnya lebih jauh. Segala cara coba kulakukan. Dari berkenalan, nulis, wawanncara dan lain sebagainya. Aku menjelma anak polos yang tidak tau apa-apa dihadapanmu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Kita berada dalam payung yang sama. Aku selalu mati kutu tiap melihatmu mengenakan pakaian jawa lengkap. Atau saat kamu bertutur dengan Bahasa Jawa dan menyanyikan tetembangan serta kidung-kidung. Di duniaku yang serba internet dan mesin, aku menemukanmu yang mampu menghidupi mimpi-mimpiku di masalalu.
“Medan magnetmu kuat sekali” batinku. Berkali-kali kutanyakan pada diriku, apakah betul aku menyukainya? Kupastikan berkali-kali, dan jawabannya sama aku jatuh hati pada sosok dingin ini. Dengan segala resiko dan kendala aku mencoba memasuki goa gelapmu. Goa yang sangat dingin dan sepi, makin dalam, makin dalam makin sunyi. Tidak ada stalaktit yang meneteskan air sama sekali. Semuanya melompong. Dimana orang ini menyimpan kisahnya? Kenapa sepi sekali? Aku mencoba memasukinya lebih jauh. Kakiku mulai terasa perih, badanku kedinginan.
Aku ingin menangis di dalam goa ini. Kenapa sepi dan dingin sekali? Hal apa yang goa ini alami hingga menjadi sedingin ini? Goa yang terlihat gagah perkasa, namun yang kulihat justru sebaliknya, sangat rapuh. Ia terus menutupi goanya dengan pepohonan yang tinggi. Bunga-bunga berduri. Buah-buahan kesukaan ular dan para kelelawar.
Sedangkan aku lebih mirip kucing lusuh yang mencari induknya. Memasuki goa yang sebegitu dinginnya, membuatku terus menciut. Kucing yang terus penasaran namun juga ketakutan.
Aku mencoba melewati jalan lain yang lebih terang. Mencoba memahami apa yang kamu lakukan. Berkawan dengan pohon-pohon besar, belik-belik kecil, batu-batuan purba. Aku berbisik kepada pohon-pohon yang ditemuinya, kala itu di bawah pohon beringin di tengah hutan Wanagama. “Mbah, aku jatuh hati pada orang ini, jika engkau merestui berikan aku petunjuk, jika tidak pertemukanlah aku dengan jalan buntu, dan aku akan putar balik”.
Benar saja, waktu itu aku menemukan jalan buntu. Berada di tepi jurang yang dalam dan licin. Demi keselamatan, aku akhirnya memilih putar balik. Mungkin benar yang disampaikan mbah beringin, orang ini memang bukan untuk kucing kecil yang lusuh 🍃