Dalam agama budha, saya seringkali mendengar ungkapan ‘menderita’. Mengurangi, menjauhi, hingga memutus penderitaan. Mulanya saya tak paham dengan konsep menderita yang dimaksud. Dalam kehidupan yang saya jalani, saya baru mengenal kurang lebih 10 emosi : sedih, senang, gembira, bingung, marah, linglung, cemas, takut, benci, dan netral. Kata menderita seperti kata kerja, bukan sifat.
Tak sengaja, saya bertemu dengan beberapa teman. Ndilalahnya, teman-teman yang saya eloni hari ini berada di 2 lokasi yang berbeda. Gunungkidul dan Minggir. Sebetulnya keduanya saling terhubung tak kasat mata. Spirit mereka sama, sehingga membuat saya nyaman dikeduanya. Tak jarang ketika kedua (anggap: komuniti) ini membuat agenda, saya seperti ingin membelah diri dan berada dikeduanya. Saya menyukai keduanya. Serius.
Dari pengalaman ini akhirnya saya sedikit berkenalan dengan rasa menderita. Mencintai keduanya, kegiatan Gunungkidul dan Minggir. Mencoba mengikuti kegiatan demi kegiatan di dua wilayah tersebut. Makin lama saya coba rasakan beberapa hal menjelma penderitaan. Karena saya terus berkeinginan untuk bisa berada dikeduanya. Padahal jelas ini keputusan yang sulit, Minggir dan Gunungkidul itu punya jarak 60km. pulang balik jadi 120km.
‘Diriku diperbudak keinginan’ begitu saya menyebutnya. Ambisi, egoistic bekerja di dalam sana. Ketika saya tak mampu mengendalikannya, seketika berubah penderitaan.
Pilah pilih, jadi skill yang harus saya kuasai. Pilah mana yang perlu dan gak perlu, pilih yang memang betul-betul berguna dan selaras dengan cita-cita. Satu hal lagi, setelah memilih jalan terus jangan ragu. Penyakit yang saya idap; keseringan mantauin spion. Suka ngga yakin dengan keputusan yang diambil, padahal semua keputusan jelas punya risiko. Kudu teteg sama keputusan sendiri.
fyuuuuh, kendalikan da.